Kamis, 12 Juni 2008

Takdir, Kehendak Tuhan dan Kehendak Manusia (1)

Sebelum membaca tulisan ini, diharapkan membaca terlebih dahulu artikel saya tentang, Ketetapan Allah, Siklus Kehidupan dan Kelahiran Kembali. Masalah takdir, kehendak Allah dan kehendak manusia sejak abad ke tujuh, sudah lama diberbincangkan dan diperdebatkan. Secara garis besar dapat digolongnkan menjadi 3(tiga) kelompok besar pemikiran. Yaitu, kelompok Jabariyah yang dipelopori oleh Jahim bin Shafwan dan kelompok Qodariyah yang dikenal dengan Mu’tajilah dan tokohnya Qodhi Abdul Jabbar serta yang terakhir adalah kelompok Asya’ariyah atau dikenal dengan Ahli Sunnah Waljamaah yang ditokohi oleh Abu al Hasan Ali al Asya’ari (873-935 M) dari Basrah, Iraq.

Yang pertama, kelompok Jabariah mengatakan bahwa takdir adalah keputusan Allah dimana baik dan buruk manusia ditentukan sepenuhnya oleh Allah tanpa manusia berupaya atau berkehendak dan mengganti keadaan tersebut.

Yang kedua, kelompok Qodariyah mengatakan bahwa takdir manusia ditentukan oleh seberapa besar usaha dan kehendak manusia tanpa intervensi atau pengaruh dan keikutsertaan Allah terhadap perjalanan hidup seorang manusia. Manusia bebas berkendak penuh terhadap perjalanan hidupnya. Kelompok ini memahami konsep pembalasan amal perbuatan manusia dengan keadilan yang sangat literal dan kaku, yaitu orang yang baik mesti ke surga dan yang jahat mesti ke neraka, dan tidak menerima konsep rahmat Allah yang tak terbatas, dalam artian, Allah dengan rahmat-Nya dapat saja memaafkan dan mengampuni kesalahan manusia dan menempatkannya di surga. Tanpa wahyu manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan, demikian juga baik dan buruk. Baik dan buruk itu bersifat objektif, maka akal dapat mengetahuinya. Fungsi wahyu berperan sebagai konfirmasi dan informasi. Karena sifat baik dan buruk itu adalah objektif maka setiap pelaku kebaikan mendapat imbalan yang baik, dan pelaku keburukan mendapat hukumannya.

Dan yang ketiga, kelompok Asya’ariah mengatakan bahwa Allah telah menetapkan takdir manusia ,tetapi manusia tetap dituntut untuk berupaya seoptimal mungkin. Manusia diberi kesempatan untuk berkendak atau berusaha untuk merubah keadaan dan kondisinya. Perubahan dapat berubah atas kuasa dan ridha Ilahi, walaupun takdir telah ditulis di Lauh Mahfuzh. Bagi Asy’ariyah tidak ada hukum produk akal. Akal tidak dapat mewajibkan atau mengharamkan, yang ada hanya hukum syariat, karena itu, tidak ada hukuman bagi orang yang belum sampai kepadanya syariat. Baik adalah apa yang diperintahkan syara’ dan buruk adalah apa yang dilarangnya. Tugas akal hanya sebagai alat untuk memahami ajaran-ajaran syara’. Asy’ariyah tidak ada kebenaran di luar agama Islam, karena yang menentukan benar dan salah, baik dan buruk sesuatu adalah agama.

Kaum Asy’ariyah dalam memahami konsep kekuasaan absolut Tuhan, bahwa Tuhan dengan wewenang-Nya yang absolut dapat saja memasukkan orang-orang saleh dan para nabi ke neraka dan para penjahat ke dalam surga. Tentu saja memasukkan manusia-manusia baik ke dalam neraka adalah paham kekuasaan yang kering dari rahmat dan kasih sayang Tuhan yang mengatasi segala sesuatu.

Kritik terhadap kelompok Jabariyah. Pemikiran ini mempunyai dampak buruk. Pemikiran ini menampik tanggung jawab dan menafikan adanya usaha manusia. Usaha manusia untuk mencari pendidikan dan mempelajari hukum dan moral tidak bermanfaat. Bila pemikiran ini mencabut kehendak bebas manusia maka tidak perlu lagi tanggung jawab, tugas, larangan, pahala dan siksa dalam syariat agama.

Kritik terhadap kelompok Qodariyah. Pemikiran ini hanya menekankan akal secara ekstrem sehingga cenderung menafikan peranan Tuhan dan menuhankan akal.

Kritik terhadap kelompok Asy ariyah. Logika idealektik yang berusaha dibangun oleh Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits (baru, tidak qadim), sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam tidak akan pernah ada.

Kelompok Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci” yaitu kemustahilan daur dan tasalsul (kausalitas). Apa alasan Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya (Halimi Zuhdy)

Nah, sebelum membahas pemikiran saya yang berkaitan dengan akidah Jabariyah, Qodariyah dan Asy,ariah, sekarang kita kembali kepada topik yaitu, takdir, kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Pertama kita bicarakan dulu tentang takdir. Apa yang dimaksud Takdir. Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, perhitungan, ketetapan dan keputusan sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya." Takdir memiliki dua bagian: qadar dan qadha. Arti qadar adalah ukuran tentang fenomena dan kejadian. Sedang qadha adalah keputusan Tuhan tentang kejadian dan peristiwa dengan suatu perhitungan.

Dalam alam semesta ini qadar terwujud dalam ilustrasi kehidupan sehari-hari dan ilimiah. Sebagai contoh bergeraknya jantung. Maha Suci Allah1) yang menggerakkan jantung. Manusia tidak bisa menghentikan bergeraknya jantung sesuai dengan kehendak manusia. Hai jantung berhentilah ?. Jantung tidak akan berhenti. Jantung itu akan berhenti sesuai dengan kadar dan ukuran atau formula yang ditetapkan oleh Tuhan. Awalnya jantung itu sehat kemudian lama-lama akan menjadi rusak. Bagaimana kerusakan itu akan menyebabkan jantung itu berhenti. Inilah yang ditetapkan melalui rumusan atau ukuran yang pasti oleh Tuhan. Kalau jantung itu dirusak oleh tangan manusia apakah di tembak atau ditusuk dengan alat tajam atau memakan makan yang mengnandung kolesterol, jantung itu akan rusak. Berhentinya yang tergantung kerusakan yang ditentukan melalui ukuran Tuhan.

Seperti orang bunuh diri. Bunuh diri ini dilarang oleh Tuhan.2) Jadi bunuh diri itu bukan kehendak Tuhan tetapi kehendak manusia itu sendiri. Nah, hasilnya apakah dia itu mati atau luka parah atau luka ringan. Itu tergantung pada rumusan atau ukuran yang sudah ditetapkan. Kalau dia bunuh diri melompat dari gedung bertingkat 20. Menurut ukuran Tuhan pasti mati, kalau tidak ada rintangan. Kalau dia melompat gedung yang dibawah banyak rintangan misalnya, ada pepohonan dan sebagainya bisa jadi tidak mati.

Kelompok Jabariyah menggunakan Surat Al Anfaal (80) ayat 17 digunakan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa semua perbuatan manusia ditentukan Tuhan.

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Manusia dapat bergerak. Kakinya bisa berjalan dan bisa berlutut. Tangannya bisa digerakkan untuk mengambil, melempar atau mengayunkan pedang. Ini merupakan takdir Allah. Tetapi tangan kamu, kamu gunakan untuk membaca atau kamu gunakan membunuh atau melempar orang. Ini bukan kehendak Tuhan, juga bukan takdir Tuhan. Itu semata-mata kehendak manusia. Kalau manusia membunuh tanpa ada alasan yang kuat. Manusia harus mempertanggung jawabkan. Kalau manusia melempar batu kena kepala orang tanpa alasan jelas Perbuatan ini harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Kalau perbuatan itu takdir Tuhan berarti tidak perlu dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.

Air tidak akan ada atau tidak akan terwujud, bila tidak bersatunya Hidrogen dan Oksigen. Bersatunya hydrogen dan oksigen inipun tergantung rumusan Tuhan. Rumusannya apa ? Ya H2O. Kalau ada 1(satu) molekul dan 2(dua) molekul Oksigen pasti akan jadi air. Orang boleh saja menciptakan air asal harus memenuhi rumus tadi ,H20. Nah, Hidrogen dan Oksigen inilah yang diciptakan oleh Tuhan. Seperti Tuhan menciptakan bumi kita ini, sudah dilengkapi denga Hidrogen dan Oksigen.

Bulan mengitari bumi. Bulan dan bumi serta planet lainnya mengitari matahari. Ukuran dan perhitungannya sudah ditentukan oleh Tuhan 3). Bumi dan planet lainnya seperti saturnus, mars mengitari matahari disebut dengan Tata Surya (Solar System). Tata surya ini ternyata bermilyar-milyar banyaknya dan mengitari pusat Galaxy . Kumpulan bermilyar-milyar tata surya ini disebut dengan Galaxy. Galaxy bermilyar-milyar mengitari pusat Nebula. Dan kumpulan bermilyar-milyar Galaxy ini disebut Nebula. Kumpulan bermilyar-milyar Nebula mengitari pusat Himpunan Nebula. Kumpulan ini Nebula disebut dengan Himpunan Nebula, Kumpulan bermilyar-milyar Himpunan Nebula ini mengitari pusat Group Nebula dan kumpulan Himpunan Nebula ini disebut Group Nebula dan Kumpulan bermilyar-milyar Group Nebula ini mengitasi pusat Guci dan kumpulan Guci ini disebut dengan Alam Semesta ( ‘Alaamiin). Konstelasi ini ditetapkan Tuhan berdasarkan ukuran dan perhitungan yang cermat. Semuanya bergerak. Subhanallah, Tuhan Yang Maha Menggerakkan 4).

Catatan :
  1. Subhanallah diterjemahkan Yang Maha Menggerakkan oleh Harun Yahya.
  2. QS: An Nisaa’ (4) ayat 29.
  3. QS: Surat Ya sin (36) ayat 38-39 ; Surat Al Furqan (25) ayat 2 ; Surat Al Hijr (15) ayat 21.
  4. Harun Yahya, “Matematika Alquran”

1 komentar:

Sisca mengatakan...

Thx infonya