Jumat, 23 Mei 2008

Bekerja Bagian Dari Ibadah Dan Jihad

Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud untuk menggurui tetapi hanya sekedar menyampaikan sedikit apa yang pernah saya baca dari bukunya DR Yusuf Qardhowi yang berjudul Daurul Qiyam wal akhlaq fil Iqtishodil Islami”.

Bahasan kali ini berjudul “Bekerja bagian dari ibadah dan jihad”, saya mulai dengan Umar bin Khotob ketika sedang berjalan melewati sekumpulan orang. Umar bertanya, “Apa yang kamu laksanakan “ Mereka menjawab ,”Kami bertawakal”. Kemudian Umar berkata,”Bukan, tetapi kamu menggantungkan nasibmu kepada oranglain. Yang bertawakal dengan sebenarnya adalah orang yang menaburkan benih di tanah lalu menyerahkan keberuntungannya kepada Allah”.

Artinya bahwa orang muslim harus berusaha dan bekerja. Kalau mereka tidak berusaha dan bekerja, mereka tidak akan mendapatkan apa2. Karena “Baginya apa yang ia kerjakan dan ia mendapat yang ia kerjakan” (Al Baqarah 286).

Orang muslim harus bekerja sesuai dengan perintah Allah dalam Al Qur’an Surat Taubah 105 yang berbunyi :

“Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-2 mukmin akan melihat pekerjaannmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

HR Hakim, Tirmidzi dan Bayhaqi dari Umar. Hadis ini dhaif tetapi ada beberapa saksi penguatnya. Bahwa Nabi pernah berkata “ Sesungguhnya Allah suka akan mukmin yang berkarya”. Dan Kejahatan yang paling berbahaya dimuka bumi ialah pengangguran”.Dari Jabir, diriwayatkan oleh Bayhaqi.

Bekerja merupakan ibadah, karena disamping memang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga bertujuan :

  1. Untuk mencukupi kebutuhan hidup

Dampaknya diwajibkannya bekerja bagi individu oleh islam adalah dilarangnya meminta-minta, mengemis dan mengharapkan belas kasihan orang.

Mengemis tidak dibenarkan kecuali dalam tiga kasus:

· Menderita kemiskinan yang melilit

· Memiliki utang yang menjerat

· Menanggung beban melebihi kemampuan untuk menebus pembunuhan

“Sesungguhnya seseorang yang berangkat ke gunung, membawa talinya lalu memikul seikat kayu bakar diatas punggungnya, lalu dijualnya, yang dengannya Allah menjaga wajahnya, adalah jauh lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, yang bisa diberi dan bisa ditolak” (HR Bukhari dari Zubair).

  1. Untuk kemaslahatan keluarga

Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga sejahtera. Islam mensyariatkan seluruh manusia untuk bekerja, baik laki-2 ataupun perempuan, sesuai dengan profesi masing2. Laki2 penjaga bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas asuhannya, wanita pengasuh bagi rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas asuhannya (HR Bukhari dari Zubair)

Wanita bisa saja bekerja sepanjang tidak menjatuhkan nilai kemuliaan sebagai wanita dan tidak menimbulkan fitnah ditempat bekerja serta di rumahtangganya. Selama pekerjaan itu tidak menyimpang dari norma dan yang penting tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya, maka mudah2an pekerjaannya tersebut dapat mengangkat derajat kemuliaan dan menjadi ladang amal baginya.

Namun bila karena pekerjaannya itu malah menghilangkan fitrah kewanitaannya; misalnya menjadi agresif gampang marah, galak, bengis kepada suami dan anak2nya dan menghilangkan fungsinya sebagai wanita, maka lebih baik tidak bekerja dan ini tidak wajar (Abdullah Gymnastiar).

  1. Untuk kemaslahatan masyarakat dan seluruh makhluk hidup

Walaupun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan karena seluruh kebutuhan hidupnya telah tersedia, baik untuk dirinya maupun keluarganya, ia tetap wajib bekerja untuk masyarakatnya sekitarnya. Karena masyarakat telah memberikan sumbangsih yang tidak sedikit kepadanya, maka seyogyaanya ia memberikannya sebanyak yang diberikan masyarakat kepadanya.

Ada suatu tindakan yang indah, yang dilakukan seorang muslim. Seseorang berjalan melewati Abud Darda, yang waktu itu sudah tua renta dan ketika itu sedang menanam pohon kenari. Orang itu bertanya, “Untuk apa kamu menanam pohon ini? Kamu sudah tua, sedangkan pohon kenari ini tidak akan berbuah kecuali sesudah sekian tahun?” Abud Darda menjawab, “Alangkah senangnya hatiku apabila mendapatkan pahala darinya, karena orang lain yang akan makan hasilnya”.

Inilah pemahaman seorang muslim tentang kehidupan. Orang menanam benih lalu mereka memanfaatkannya, kemudian ia menanam agara generasi sesudahnya juga memetik hasilnya.

Lebih dari itu seorang muslim juga wajib bekerja untuk kemanfaatan seluruh makhluk hidup.

“Siapakah dari kaum muslimin yang menanam tanaman atau tumbuh2an lalu dimakan burung, manusia atau hewan, kecuali baginya sedekah “ (HR Mutafaqqun alaih. Bukhari dan Muslim).

Bekerja adalah bagian dari ibadah. Ibadah dan bekerja adalah satu kesatuan. Ibadah diperintahkan oleh Allah untuk mencapai keseimbangan dalam produktivitas seseorang. Tidak mungkin seseorang terus menerus bekerja sepanjang hari dan malam. Di tengah-tengah pekerjaan, adzan terdengar. Maka bersegeralah untuk berwudhu dan shaolat. Insya Allah dengan wudhu dan sholat khusuk akan mengembalikan stamina dan konsentrasi akan meningkat.

Namun, sebagai intermezo maaf, jangan sekali-kali menjadikan ibadah sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Dengan dalih itikaf, kita menggunakan jam kerja untuk berdiam diri di masjid sejak pukul 10 pagi hingga jam makan siang tiba.
Setelah waktu sholat, makan siang dan istirahat telah selesai, kembali bekerja dengan penuh semangat.

Pekerjaan yang satu telah selesai , lalu dilanjutkan dengan pekerjaan yang lain yang terbengkalai, sebagai mana firman Allah dalam Surat Insyiraah ayat 7 dan 8 yang berbunyi :”Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah (urusan yang lain) dengan sungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmu hendaklah engkau berharap”

Disamping bekerja adalah ibadah, bekerja juga merupakan jihad fi sabililah. Dari Kaab bin Ajrah, ia berkata, “Nabi mendatangi seorang lelaki dan para sahabat melihat bahwa orang itu sangat tekun dan bersemangat. Lalu mereka berkata,” Ya, Rasulullah. Apakah bekerjanya orang itu fi sabilillah? Nabi bersabda, “kalau dia berusaha untuk kebutuhan anak-2nya yang kecil maka itu fi sabilillah. Kalau ia bekerja demi mencukupkan kebutuhan kedua orang tuanya yang tua renta, mak itu fi sabilillah.Dan kalau untuk kehormatan dirinya, maka itu fi sabilillah. Kalau ia bekerja demi mencukupkan kebutuhan dirinya ? Nabi menjawab, Pekerjaan itu juga fi sabilillah.

Tetapi kalau ia bekerja untuk menyombongkan diri atau karena riya, maka itu fi sabilisyaitan (dijalan setan). Karena Tuhan tidak suka orang yang sombong. Seperti firman Allah dalam Surat Al Hadiid 23 dan 24 yang berbunyi sbb:

“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, yaitu orang-orang yang bakhil dan menyuruh orang bakhil.

Jadi bekerja itu fi sabilillah. Apakah juga termasuk jihad, jihad fi sabilillah. Ya, karena pengertian jihad menurut DR Miftah Farids adalah perjuangan atau bersungguh-sungguh. Jihad tidak identik dengan perang bersenjata. Kata perang dalam bahasa Arab adalah qital yang berasal dari qotala artinya membunuh. Sedang jihad berasal dari kata jaahada artinya berjuang atau jahada artinya bersungguh-sungguh.

Bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh merupakan jihad fi sabilillah atau perjuangan di jalan Allah. Dalam hadits sahih Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah dengan baik dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Seseorang hendaklah menajamkan pisaunya agar meringankan penderitaan yang disembelihnya “.

Barang siapa kurang memperhatikan ketekunan dalam bekerja, niscaya ia juga akan lalai dalam melaksanakan perintah agama. Nabi berkata, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang dari kamu, yang apabila bekerja, ia menekuni pekerjaan itu (dengan sungguh-sungguh)” (HR Bayhaqi).

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (jihad) pada jalan Kami, sungguh akan Kami tunjukkan mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (Surat Al Ankabuut 69)

Berkaitan dengan ekonomi, mayoritas pemeluk agama memahami sebagian norma agama dengan pemahaman yang kurang benar. Misalnya norma iman, taqwa, saleh dan istiqomah.

Al Qur’an berkata :

  1. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkat dari langit dan bumi ( Surat Al A’raf ayat 96 ) atau
  2. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (Surat At Tholaq ayat 2 dan 3) atau
  3. Bahwasanya bumi ini akan diwarisi hamba-hambaku yang saleh ( Surat Al Anbiya’ ayat 105 ) dan
  4. Bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) (Surat Jin ayat 16)

Ketika Al Qur’an menyebutkan ayat-ayat tersebut diatas, sebagaian umat Islam memahami bahwa hal itu sekedar menegakkan syariat Islam seperti sholat, puasa, tasbih, tahlil, takbir serta menjauhkan dari yang haram seperti khamar dan judi. Ini memang tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bagian yang prinsip dalam beragama. Tetapi itu bukan gambaran keseluruhan substansi Islam, bukan pula pola bagi seluruh keimanan dan ketaqwaan.

Sesungguhnya, disamping menciptakan manusia untuk menyembah-Nya (Surat Ad Dzariyat ayat 56) “Wa`maa kholaqtul jinna wal insa ilaa liya’buduun” –Dan Aku tidaklah menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah Aku.

Allah juga menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi dan memakmurkannya melalui ilmu dan amal (Surat Al Baqarah ayat 30 dan Surat Hud ayat 61).
Sesungguhnya iman, taqwa, saleh dan istiqomah mewajibkan kita untuk berjalan diantara kepentingan agama dan dunia. Norma - norma itu mengharuskan atau mewajibkan kita menyembah Allah dengan menjaga hukum kausalitas ( Sunatullah).

Taqwa yang harus dikejar, bukanlah tasbih para darwis, bukan sorban para syekh, bukan pula mihrab para sufi. Taqwa yang perlu dicapai ialah ilmu dan amal, agama dan dunia, material dan spiritual, investasi dan produksi, ketekunan dan ihsan.

Nabi menganjurkan itqan (tekun) dalam setiap pekerjaan yang dilaksanakan setiap muslim, walaupun dalam membunuh tokek.

“Barang siapa yang membunuh tokek pada pukulan pertama, ia mendapatkan 100 kebaikan. Barang siapa yang membunuh tokek pada pukulan kedua, ia mendapatkan kebaikan kurang dari 100. Dan barang siapa membunuhnya pada pukulan ketiga, ia mendapat pahala lebih kecil lagi”.

Hadits ini menginspirasikan bahwa ketekunan dalam bekerja wajib dilaksanakan walaupun dalam hal yang remeh menurut pandangan manusia.

Orang muslim yang taqwa adalah mereka yang bekerja sesuai dengan prinsip kausalitas, berusaha semaksimal mungkin dengan prinsip melakukan yang terbaik.
Seorang muslim tidak merasa cukup dengan sekedar bekerja karena ia berkeyakinan bahwa Allah mengawasinya. Allah melihatnya ketika ia bekerja di ladang, di pabrik, di kantor atau dimana saja.

Nabi menafsirkankan ihsan dalam beribadah dengan sabdanya,” Ketika kamu beribadah seakan-akan kamu melihat Allah, apabila kamu tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu”

Kegiatan ibadah ini termasuk ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah. Akhirnya mudah-2an apa yang saya sampaikan ini memberikan pencerahan kepada saya khususnya dan ibu, bapak sekalian serta adik-adik yang sempat membaca melalui blog ini.

Wa llahu 'alam bishowab

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)