Pertanyaan diatas sungguh menggelitik. Semua orang percaya bahwa Tuhan itu Maha adil. Tetapi faktanya banyak yang secara tidak sadar dalam hatinya mengatakan mengapa saya menderita dan atau cacat seperti ini. Mengapa musibah selalu menimpa saya ? Bahkan ada lagu yang berjudul “Takdir Itu Kejam”, yang dilarang beredar. Sebenarnya pencipta lagu itu terinspirasi dari masyarakat yang menanyakan mengapa seseorang itu ditakdirkan menderita. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dalam al Qur’an. Bahwa seseorang atau umat yang binasa itu disebabkan karena dosa-dosanya [QS Yasin (36) ayat 31]. Demikian juga orang cacat atau menderita akibat musibah, juga dikarenakan dosa-dosanya sebagaimana dalam ayat 49 Surat Al Maidah (5) menyatakan bahwa “……maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka…..”. Orang percaya bahwa kalau manusia cacat, hilang kaki dan tangannya dikarenakan bencana alam seperti gempa bumi, banjir dan hujan batu dan awan panas (gunung meletus), itu disebabkan karena dosa-dosanya seperti yang tersebut dalam ayat tersebut diatas. Mereka juga beralasan bahwa “…..Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri “ [QS At Taubah (9) ayat 70]. Mereka juga percaya bahwa kalau musibah itu datang kepada mu, maka itu bukan dari Allah tetapi dari (kesalahan) mu sendiri [QS An Nisaa’ (4) ayat 79]. Dapat ditarik kesimpulan bahwa segala musibah berupa cacat tubuh akibat gempa bumi, atau jatuh miskin karena rumah dan kebunnya dihantam lava panas dan sebagainya, maka itu dikarenakan dosa-dosa dan kesalahan mereka sendiri. Cacat tubuh ini bisa terjadi pada siapa saja pada saat musibah itu datang, bisa bayi, anak kecil atau orang yang sudah dewasa. Ketika yang terkena musibah itu bayi dan anak kecil, maka timbul pertanyaan dosa atau kesalahan apa yang telah dilakukan si bayi dan anak kecil yang masih balita ini ? Sama pula pertanyaan yang dapat diajukan ketika seorang ibu muda yang melahirkan anak cacat, tiada tangan dan kaki. Dipandang dari sudut ibu, .. benar bahwa musibah itu dikarenakan dosa dan kesalahan ibu. Tetapi bagi si bayi yang lahir cacat itu… Dia menanggung dosa dan kesalahan siapa ? Apakah dia sudah melakukan perbuatan dosa ? Ada yang menjawab : “ “Oh itu kehendak Tuhan… Oh itu hak prerogative Tuhan”. Seharusnya orang-orang harus konsisten menjawab pertanyaan ini. Mengapa orang dewasa yang cacat karena musibah, disebabkan oleh dosa atau kesalahannya, tetapi kalau si bayi yang cacat kok disebabkan karena kehendak Tuhan (takdir) atau hak prerogative Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa kehidupan itu seperti mobil. Tidak mungkin mobil itu dibuat sama bentuknya misalnya, semua terdiri dari roda. Tidak mungkin jalan kalau ndak ada busi, mesin, bensin dan sebagainya. Itulah kehidupan yang beragam. Yang menjadi roda pasti tidak bertanya,.. lah wong barang mati. Kalau manusia pasti bertanya (karena punya akal) kenapa saya yang dijadikan roda atau kenapa saya yang dilahirkan cacat ? Yang benar adalah dalam menentukan apakah sesuatu itu dijadikan busi, ataukah mesin ataukah roda pasti ada pertimbangan yang tidak merugikan yang bersangkutan. Allah itu Maha Kuasa tetapi tidak sewenang-wenang. Allah itu Maha Adil. Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak mungkin berbuat dholim (aniaya). Dholim itu adalah perbuatan buruk. Tidak mungkin Allah itu berbuat buruk dan berbuat sewenang-wenang. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." [QS Al Kahfi (18) ayat 49]. Apa saja nikmat atau yang baik-baik saja itu yang diperoleh manusia pasti dari Allah [QS An Nisaa’ (4) ayat 79]. Allah itu pasti memberikan yang terbaik dan penuh pertimbangan. Nah, sekarang apa yang menjadikan pertimbangan ? Ya, firman Allah yang ada dalam surat Al Maidah (5) ayat 5 : “……maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka…..”. Kalau manusianya baik, pasti oleh Allah tidak memberikan musibah. Allah berkehendak menimpakan musibah hanya kepada manusia yang penuh dosa dan kesalahan. Dimana Allah mencatat segala perbuatan dan jejak rekam yang telah dilakukan ? Catatan itu namanya Lauh Mahfuz. “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” [QS Yasin (36) ayat 12]. Nah, jikalau bayi lahir cacat atau setelah lahir kemudian tertimpa musibah sehingga menjadi cacat, ini pasti disebabkan karena dosa-dosa atau kesalahan yang telah diperbuatnya yang telah dicatat di Lauh Mahfuz. Karena itu musibah bagi dirinya. Dosa-dosa inilah yang menjadi pertimbangan oleh Allah untuk menetapkan kebaikan dan keburukan bagi manusia sebelum manusia dibangkitkan kembali. Untuk menyakinkan bahwa pada saat manusia dibangkitkan kembali dengan berbagai rupa sebanyak 12 kelompok (sumber dari sahabat Ma’adz bin Jabal yang dikutip dari www.dwi-setiawati.web.id), dua diantaranya adalah “dibangkitkan tanpa tangan dan kaki. Seraya terdengar suara dari sisi Tuhan " Mereka adalah orang-orang yang menggangu tetangganya. Maka inilah ganjarannya dan neraka tempatnya ." dan dibangkitkan dalam bentuk babi. Seraya terdengar suara dari sisi Tuhan "Mereka adalah orang-orang yang bermalas-malas melakukan shalat Maka inilah ganjarannya dan nerakalah tempatnya ."
Kalau memang nâr itu merupakan api yang menyala-nyala (riil), kenapa manusia dibangkitkan dalam keadaan cacat dan dijadikan babi. Kenapa tidak langsung dimasukkan kedalam nâr, pasti akan hancur lebur seperti orang di kremasi. Tidak perlu dicacatkan lagi dan tidak perlu dijadikan babi. Jadi nâr itu dapat di indikasikan berada di bumi ini. Sebagai referensi dapat pula dibaca artikel dalam kategori “Kebangkitan”. Orang mungkin berpendapat bahwa orang yang meninggal itu dibangkitkan lagi seperti orang yang belum meninggal, baik tubuh maupun rupanya. Ruh akan dipertemukan dengan tubuh [QS At Takwir (81) ayat 7]. Tubuh yang mana tergantung perbuatannya dulu. Kalau dulu suka mengganggu tetangganya, maka ruh-nya akan dipertemukan kepada tubuh yang yang tidak punya tangan dan kaki. Demikian juga kalau dulu suka bermalas-malasan melakukan shalat, maka ruhnya akan dipertemukan dengan seekor babi yang akan lahir. Simak surat Al Waaqi’ah (56) ayat 60-61 sebagai berikut,
Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan,
untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu dan menciptakan kamu kelak dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.
We have decreed death to you all, and We are not unable, To transfigure you and create you in (forms) that you know not. (Terjemahan dari Dr. M. Taqiud-Din & Dr. M. Khan )
Dengan demikian dapat dijelaskan menurut ayat diatas bahwa suatu misal, setelah Tuan A itu meninggal dan kemudian dibangkitkan lagi itu bentuknya tidak seperti Tn A sebelum dibangkitkan, tetapi dibangkitkan dengan tubuh dan rupa yang tidak kamu ketahui. Jadi bentuk tubuh dan rupa kita pasti tidak sama dengan tubuh dan rupa kita di kehidupan sebelumnya. Tubuh dan rupanya bisa jadi cacat atau dijadikan babi sebagaimana yang disebut dalam hadits diatas. Ruh kita tidak mengenal tubuh dan rupa kita di kehidupan sebelumnya, tetapi dapat merasakan adzab atau musibah yang ditimpakan kepada kita. Wallahu ‘alam bish shawab.
Kalau memang nâr itu merupakan api yang menyala-nyala (riil), kenapa manusia dibangkitkan dalam keadaan cacat dan dijadikan babi. Kenapa tidak langsung dimasukkan kedalam nâr, pasti akan hancur lebur seperti orang di kremasi. Tidak perlu dicacatkan lagi dan tidak perlu dijadikan babi. Jadi nâr itu dapat di indikasikan berada di bumi ini. Sebagai referensi dapat pula dibaca artikel dalam kategori “Kebangkitan”. Orang mungkin berpendapat bahwa orang yang meninggal itu dibangkitkan lagi seperti orang yang belum meninggal, baik tubuh maupun rupanya. Ruh akan dipertemukan dengan tubuh [QS At Takwir (81) ayat 7]. Tubuh yang mana tergantung perbuatannya dulu. Kalau dulu suka mengganggu tetangganya, maka ruh-nya akan dipertemukan kepada tubuh yang yang tidak punya tangan dan kaki. Demikian juga kalau dulu suka bermalas-malasan melakukan shalat, maka ruhnya akan dipertemukan dengan seekor babi yang akan lahir. Simak surat Al Waaqi’ah (56) ayat 60-61 sebagai berikut,
Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan,
untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu dan menciptakan kamu kelak dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.
We have decreed death to you all, and We are not unable, To transfigure you and create you in (forms) that you know not. (Terjemahan dari Dr. M. Taqiud-Din & Dr. M. Khan )
Dengan demikian dapat dijelaskan menurut ayat diatas bahwa suatu misal, setelah Tuan A itu meninggal dan kemudian dibangkitkan lagi itu bentuknya tidak seperti Tn A sebelum dibangkitkan, tetapi dibangkitkan dengan tubuh dan rupa yang tidak kamu ketahui. Jadi bentuk tubuh dan rupa kita pasti tidak sama dengan tubuh dan rupa kita di kehidupan sebelumnya. Tubuh dan rupanya bisa jadi cacat atau dijadikan babi sebagaimana yang disebut dalam hadits diatas. Ruh kita tidak mengenal tubuh dan rupa kita di kehidupan sebelumnya, tetapi dapat merasakan adzab atau musibah yang ditimpakan kepada kita. Wallahu ‘alam bish shawab.
3 komentar:
wahai adakah kehidupan dunia yang sempurna tiada cela?
bukankah keanekaragaman itu menuntun kita agar mengenal?
kalau semuanya sempurna dan seragam, tentu dunia ini membosankan...
assalamualaikum numpang tanya, klo orng yg tertimpa musibah seperti/misalkan jatuh miskin(bangkrut)/celaka/CACAT itu orng dewasa maka itu dpt dikatakan akibat dr dosa dosanya,yg jd pertanyaan bayi yg dilahirkan cacat itu dosa apa knpa dia hrs menanggung kecacatannya,sehingga dgn keterbatasannya dia tdk bs beraktifitas/beribadah dan beramal sholeh secara maksimal seperti orng normal ,.... mohon pencerahannya trima kasih mohon maaf klo saya salah...
wajar kl pertanyaan spt itu muncul, tp kl kita renungkan secara mendalam, mungkin kita akan mengerti, Allah menciptakan spt itu tidak sia2 apakah dengan tubuh ggak cacat kita bisa beribadah dengan sempurna, belum tentu, apakah dengan tubuh yg cacat jg kita bs beribadah dengan sempurna? Blm tentu jg, itu tergantung manusianya, ikhlas ggak menerima kenyataan, sabar ggak? Tubuh yg ggak cacat lebih berat tanggung jawabnya, kekayaan jg, jabatan jg, dll* mau menanggungnya? Sebenarnya kita manusia egois, pengen semuanya sempurna , punya rumah mewah, mobil mewah, istri cantik, suami ganteng, dll. Gunanya untuk apa? Jadilah sebagai manusia yg pandai bersyukur, bukan menyesali takdir.
Posting Komentar